Mendudukkan Hak dan Kewajiban Suami Istri Secara
Proporsional, Ini Pandangan Islam
Hal terpenting bagi pasangan
suami istri adalah mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Pembagian peran
menjadi prioritas utama untuk didiskusikan bersama agar bahtera pernikahan
berjalan dengan mulus tanpa hambatan yang berarti.
Saat ini, bila diperhatikan peran
antara suami dan istri sering timpang. Misalnya tugas di rumah dibebankan
seluruhnya kepada istri. Padahal, istri juga bekerja di luar rumah demi bisa
menopang kebutuhan sehari-hari.
Lebih mengherankan lagi adalah
suami yang tetap menuntut dihormati oleh istrinya sedangkan dia sendiri
pengangguran, hanya ongkang-ongkang kaki. Dengan alasan penghormatan kepada
suami adalah perintah agama. Tidak jarang tuntutan penghormatan itu
dilegitimasi ayat al-Quran //”ar-Rijalu Qawwamuna ‘alan Nisa.”//
Dalam
Tafsir at-Thabari dijelaskan, alasan laki-laki disebut ‘qawwam’
(unggul/pemimpin) bagi perempuan sebab laki-laki memberi mahar, nafkah dan
memenuhi kebutuhan keluarga. Kemudian dalam Tafsir al-Qurthubi dinyatakan
ketika laki-laki tidak memenuhi tugasnya dalam memenuhi kebutuhan keluarga,
laki-laki seperti ini tidak menjadi lebih unggul. (Lihat at-Thabary, ///Jami’
al-Bayan// juz 8 hlm 290 dan al-Qurthubi, //al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,// juz
5 hlm 169).
Lalu, bagaimana sebenarnya hak
dan kewajiban suami istri? Merujuk diskusi dalam kajian fikih, baik suami
maupun istri memiliki hak dan kewajiban bersama dan hak kewajiban khusus.
(Lihat Wahbah Zuhaili, //al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh,// juz 9, hlm 6842-6859)
Pemenuhan hak dan kewajiban
bersama adalah fondasi rumah tangga yang sakinah //mawaddah wa rahmah.// Di
antaranya adalah hak dan kewajiban pasangan dalam memenuhi kebutuhan biologis
masing-masing.
Selain itu, baik suami maupun
istri sama-sama diperintahkan agama untuk berbuat baik satu sama lain. Pasangan
suami istri adalah partner sehidup semati. Musyawarah dan diskusi bersama dalam
menentukan setiap keputusan. Argumen siapa yang paling masuk akal harus
didahulukan.
Lalu, hak khusus suami yang
diperoleh dari istri adalah istri harus selalu siap memenuhi kebutuhan biologis
suami. Akan tetapi, sekali lagi, hal ini harus didasarkan pada pemenuhan hak
bersama. Suami harus bijak, bila dirasa istri tidak dalam kondisi fit,
sebaiknya kebutuhan biologisnya ditunda terlebih dahulu.
Lebih jauh, seorang istri harus
menjaga harkat dan martabat suami, menjaga rumah dan anak-anak bila suami
sedang tidak di rumah.
Sementara kewajiban seorang suami
adalah memenuhi kebutuhan istri dari kebutuhan primer sampai tetek bengek
kebutuhan lain. Seperti telah disinggung sebelumnya.
Dalam hal ini, istri yang
dituntut meninjau hak dan kewajiban bersama, dalam arti istri harus bijak dalam
menuntut suami sesuai dengan kemampuannya. Tidak elok jika istri menuntut suami
memenuhi kebutuhannya di luar kesanggupan suami.
Terakhir, kewajiban istri kepada
suami. Menariknya, dalam diskusi fikih, sebenarnya istri tidak memiliki
kewajiban melayani suami selain pelayanan kebutuhan biologis. Pelayanan rumah
seperti memasak, mencuci baju, menyiapkan ini itu untuk suami bukan merupakan
kewajiban.
Namun, jika istri menghendaki
dirinya melayani suami dalam tugas rumah seperti di atas, akan menjadi kebaikan
bagi dirinya. Maka, suami harus berterima kasih, berucap syukur, dan lebih
menyayangi istri jika semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh istri karena itu
sebenarnya bukan kewajibannya.
Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam
//al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu// mengatakan:
أما
واجب الزوجة:
فلا يجب
عليها خدمة
زوجها في
الخبز والطحن
والطبخ والغسل
وغيرها من
الخدمات، وعليه أن
يأتيها بطعام
مهيأ إن
كانت ممن
لا تخدم
نفسها؛ لأن
المعقود عليه
من جهتها
هو الاستمتاع
فلا يلزمها
ما سواه،
لكن لا
يجوز لمن
تخدم نفسها
وتقدر على
الخدمة أخذ
الأجرة على
عمل البيت،
لوجوبه عليها
ديانة، حتى
ولو كانت
شريفة؛ لأنه
عليه الصلاة
والسلام قسم
الأعمال بين
علي وفاطمة
رضي الله
عنهما، فجعل
أعمال الخارج
على علي،
والداخل على
فاطمة مع
أنها سيدة
نساء العالمين
“Kewajiban istri: tidak wajib
bagi seorang istri melayani suami dalam hal memasak dan mencuci dan bentuk
pelayanan lainnya (selain melayani kebutuhan biologis). Justru suami wajib
menghidangkan makanan kepada istri jika istri tidak dapat melakukannya sendiri.
Karena akad nikah hanya mewajibkan istri melayani kebutuhan biologis suami,
maka selain itu tidak ada kewajiban pelayanan lain bagi istri.
Tetapi, meski demikian, istri
yang dapat mengurus dirinya sendiri dan mampu mengerjakan pekerjaan rumah tidak
dibenarkan menuntut upah kepada suami atas pekerjaan rumah yang dia lakukan.
Istri harus melakukannya ikhlas karena Allah. Meskipun perempuan tersebut keturunan
Rasul (syarifah). Sebab, Nabi sendiri pernah membagi tugas antara ‘Ali dan
Fatimah. Nabi menyuruh ‘Ali fokus bekerja di luar rumah dan Fatimah menangani
urusan rumah.”
(Wahbah Zuhaili, //Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh,// juz 9, hlm. 6852)
Suami juga seharusnya lebih tahu
diri jika istri bekerja di luar rumah seperti dirinya. Akan lebih bijak bila
tugas rumah dimusyawarahkan, didiskusikan, supaya tidak semuanya dibebankan
kepada istri. Dalam konteks ini, seharusnya minimal separuh dari tugas rumah dikerjakan
juga oleh suami.
Namun bila suami yang sepenuhnya
bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, dari pagi hingga malam sedang
istri hanya menunggu di rumah, akan lebih elok bila tugas rumah istri yang
menangani. Ini pun bukan atas dasar kewajiban, akan tetapi agar seimbang
pembagian peran antara suami dan istri. Seperti Nabi yang membagi tugas ‘Ali
dan Fatimah.
Pada hakikatnya rumah tangga
lebih dari sekadar hak dan kewajiban. Rumah tangga adalah kesalingan antara
suami dan istri. Saling bekerja sama, saling menyayangi dan saling mencintai
satu sama lain.
Seorang suami tidak tega melihat
istrinya kewalahan mengurus rumah sendiri. Pun istri tidak enak hati jika
semuanya, dari urusan memenuhi kebutuhan sehari-hari dan urusan rumah semuanya
ditangani suami. Kuncinya adalah saling berkomunikasi terkait pembagian tugas
dan peran supaya tidak terjadi ketimpangan. (Ilham Fikri, ed: Nashih)
Sumber : https://mui.or.id/bimbingan-syariah/hukum-keluarga/46404/mendudukkan-hak-dan-kewajiban-suami-istri-secara-proporsional-ini-pandangan-islam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.